BELAJAR, BERJUANG, BERTAQWA

Jumat

Maaf, Aku Mencintaimu

Seperti yang pernah aku katakan, aku kembali minta maaf atas kelancanganku merobek-robek perjanjian yang tak tertulis itu. Aku mengakui bahwa inilah kekalahanku selanjutnya setelah kekalahan-kekalahan yang tak terhitung lagi kemarin. Ini dua penghianatan sekaligus yang paling hina yang pernah aku lakukan.

Aku telah menghianati diriku sendiri untuk tidak mudah jatuh cinta, aku telah menghianati keputusanku untuk tidak mengungkapkan cinta kepadamu. Dan benar, aku memang seorang penipu. Aku seorang penipu diri sendiri yang ketakutan. Kau boleh menyamakan aku dengan anjing atau babi hutan. Tapi kau pun tak bisa memungkiri jika emas, sekalipun keluar dari mulut anjing atau babi hutan tetaplah emas (aku anggap cinta yang aku katakan adalah emas) dan kau pun boleh mengatakan, “sekalipun emas, jika keluar dari mulut anjing atau babi hutan tetaplah najis jika kau sentuh.”

Memang benar, inilah cinta yang seharusnya tak boleh terkatakan. Atau lebih kasar lagi, haram bagiku untuk mengatakan cinta kepadamu. Tapi aku sudah siap menanggung dosa atas keharaman ini. Aku siap.

Mungkin kau pernah berpikir jika aku menyesal telah mengatakan janjiku kepadamu (mungkin waktu itu aku lupa jika aku manusia), hingga sekarang malah membawaku pada sesuatu yang aku pun sulit membenarkan tindakan ini. Dan kau benar lagi, ini penyesalan terbesarku saat ini. Meskipun sebenarnya berjanji atau tidak pun sama saja. Aku tetap semacam anjing.

Jangan berpikir jika yang selama ini aku lakukan untukmu, kepadamu itu sebagai ketulusan. Salah! Aku sama sekali tak tulus, dengan sikapku aku masih berharap bahwa kelak kau akan luluh dengan kebaikanku dan aku dapat memilikimu. Itulah kenapa dulu aku pernah mengatakan kepadamu, “jangan mudah percaya kepada kebaikan yang sempurna, sebab pasti ada sesuatu dibaliknya.” Karena aku melakukannya. Sama seperti orang-orang yang mengharapkan kamu.

Aku tahu kau siap memaki-maki aku. Bahkan mungkin kau pun akan pergi dengan (mungkin) sedikit kemarahan dengan pengakuanku. Dan mungkin saat itu aku sedang menyesali ketidakjujuranku yang terlalu jujur. (…lalu aku sadar jika kebenaran itu memang pahit).

Biarlah, ini aku anggap sebagai penebus dosa atas ketidakjujuranku. Aku katakan! Semua kata-kata laki-laki itu sama. Yang membedakan hanya perlakuan dan sikap mereka.

Aku mencintaimu, menghianatimu, mengecewakanmu dan mungkin dengan pengakuanku hendak membuatmu pergi dariku. Maka sebelum kau benar-benar pergi, aku beritahu sedikit tentang watak laki-laki yang menjengkelkan agar kelak kau tidak mudah tertipu (bagiku ini bukti bahwa aku mencintaimu).

Kita begitu berbeda dalam segala hal, kita hanya punya satu kesamaan yang tak penting. Itu tak cukup digunakan sebagai alasanmu untuk menerimaku. Kau selalu menjadi perhatian semua orang, sementara aku hanya pelengkap mereka. Kadang bahkan tidak dibutuhkan sama sekali. Biarlah…. Aku minta maaf.

Cintaku memang terlalu sederhana, sampai aku tak bisa menjanjikan apa-apa kepadamu. Bahkan aku pun masih bisa hidup, masih bisa bahagia tanpamu. Hanya saja kualitas hidupku akan lebih baik jika kau bersamaku, kadar kebahagiaanku pun akan jauh berbeda jika kau hidup dengan cintamu dalam hatiku.

Setelah ini kau boleh pergi, boleh memaki aku. Aku tak pernah mendendam kepadamu, dalam cinta tak ada dendam. Jika ada yang mengatakan bahwa aku menyimpan dendam, yakinkan hatimu bahwa orang itu sedang menipumu.

Aku pun masih berharap jika suatu saat aku telah berhasil membunuh perasaan brengsek ini, kau masih menerimaku sekadar menjadi sahabatmu. Sebab selama aku belum berhasil membunuh perasaan cintaku, selamanya aku tetap menjadi laki-laki pecemburu yang tentu saja tidak akan pernah memberi kebaikan buatmu.

Kau juga pernah mengatakan kepadaku, kau tak ingin menjadi penyakit keduaku. Aku sadar betul penolakanmu. Tapi aku tidak pernah menganggapmu sebagai penyakit kedua, aku menganggapmu sebagai obat penyakitku. Di hadapanmu, penyakit itu tak berarti apa-apa, penyakit itu bukan apa-apa lagi. Penyakit itu tak berarti lagi!

Aku sudah memastikan seperti apa kemarahanmu kepadaku. Kau akan menganggapku sebagai seorang pengkhayal yang seharusnya merasa beruntung karena kau masih mau menemaniku menghabiskan rasa muak kepada dunia. Aku serakah?

Karena itulah aku menulis ini untuk membangunkan aku, untuk menyadarkan aku bahwa aku sudah terlalu lama bermimpi, terlalu jauh berkhayal. Aku ingin mengakhiri mimpi dan khayalan yang sejatinya sangat menyakitkan ini. Aku ingin berpijak pada bumiku sendiri. (tapi aku masih tetap berharap, meskipun hanya serupa harapan yang sia-sia).

Dan aku bukan yang terbaik buatmu, tapi aku selalu mencari yang terbaik buatku.
Maaf….

Oleh : 'thebrokenwings' ( 11 Maret 2010 )
(mkasih untuk Itox Van Cleizank)

0 komentar:

Posting Komentar