“Ada semangat yang mendukung bagaimana 10 November itu bisa hadir”
Peristiwa di akhir Oktober hingga paruh awal November 1945, merupakan babak penting dalam sejarah pergolakan revolusi kemerdekaan Indonesia. Bentrokan yang melibatkan massa dalam jumlah besar terjadi di Surabaya pada tanggal. Bentrokan terjadi antara pasukan Hizbullah, Sabilillah, dan pasukan lain dengan pasukan Inggris dan pasukan sewaannya. Letusan terjadi karena upaya Belanda melalui pasukan Inggris, hendak mengambil alih kekuasaan Nusantara setelah pendudukan Jepang runtuh.
Saat Jakarta, Bandung, dan Semarang sudah takluk, Surabaya menjadi kota yang penuh dinamika pergolakan. Bentrokan terus terjadi karena masyarakat Surabaya dan sekitarnya mempertahankan kota dari penyerbuan dengan kekuatan 6000 pasukan Inggris yang terus mencoba masuk ke Surabaya. Bentrokan massa bersenjata akhirnya memuncak pada tanggal 10 November 1945. Sedikitnya 2000 pasukan terlatih Inggris tewas berikut Brigjend AWS. Mallaby, Komandan Pasukan Inggris. Banyaknya korban di pihak Inggris sebagai pasukan terlatih, membuat Inggris kehilangan muka di kalangan militer internasional.
Hari dimana pertempuran sengit tersebut terjadi kemudian ditetapkan sebagai Hari Pahlawan Nasional RI. Peristiwa 10 November 1945, “tidak bisa dipisahkan dengan keputusan Resolusi Jihad fi Sabilillah yang dikeluarkan NU”
Peristiwa yang kemudian kita peringati sebagai hari pahlawan, yakni tanggal 10 November 1945, jarang orang mengetahui bahwa peristiwa pertempuran yang sangat dahsyat nan heroik tersebut sebenarnya dipicu atau diinsipirasi oleh suatu resolusi jihad yang dikeluarkan oleh Hadratus Syaikh Hasyim Asy’arie, pengasuh Pesantren Tebuireng, Jombang, yang sekaligus sebagai Ketua Umum NU saat itu.
Presiden Soekarno menghadap kepada Kyai Hasyim Asyari di Tebuireng Jombang untuk menjelaskan sekaligus berkonsultasi tentang kondisi terkini,sehubungan dengan akan datangnya enam ribu tentara Inggris di bawah komando Brigadir Jenderal Mallaby, Panglima Brigade ke-49 (India) yang akan segera tiba di Pelabuhan Tanjung Perak, Surabaya. Dan bahkan penjajah Belanda dengan tentara NICA-nya (Netherlands Indies Civil Administration) yang sudah terusir pun ikut membonceng tentara Sekutu tersebut.
“Kiai, despundi Inggris datang niku, gimana umat Islam menyikapinya? “ tanya Presiden Soekarno kepada Rois Akbar NU, yang akrab dengan panggilan Mbah Hasyim.
“Lho Bung, umat Islam jihad fisabilillah (berjuang di jalan Allah) untuk NKRI, ini Perintah Perang !” kata Rois Akbar Nahdlatul Ulama Hadratush Syaikh Kia Haji Hasyim Asy’ari, menjawab pertanyaan Bung Karno.
Mbah Hasyim kemudian memerintahkan KH Wahab Chasbullah, KH Bisri Syamsuri, dan kiai lain untuk mengumpulkan kiai se-Jawa dan Madura. Para kiai dari Jawa dan Madura itu lantas rapat di Kantor PB Ansor Nahdlatoel Oelama (ANO), Jalan Bubutan VI/2, Surabaya, dipimpin Kiai Wahab Chasbullah pada 22 Oktober 1945. Dan pada 23 Oktober 1945, KH Hasyim Asya’rie atas nama Pengurus Besar NU mendeklarasikan seruan jihad fi sabilillah, yang kemudian dikenal dengan Resolusi Jihad.
isi resolusi :
“Berperang menolak dan melawan pendjadjah itoe Fardloe ‘ain (jang haroes dikerdjakan oleh tiap-tiap orang Islam, laki-laki, perempoean, anak-anak, bersendjata ataoe tidak) bagi jang berada dalam djarak lingkaran 94 km dari tempat masoek dan kedoedoekan moesoeh. Bagi orang-orang jang berada di loear djarak lingkaran tadi, kewadjiban itu djadi fardloe kifajah (jang tjoekoep, kalaoe dikerdjakan sebagian sadja…”
“Berperang menolak dan melawan pendjadjah itoe Fardloe ‘ain (jang haroes dikerdjakan oleh tiap-tiap orang Islam, laki-laki, perempoean, anak-anak, bersendjata ataoe tidak) bagi jang berada dalam djarak lingkaran 94 km dari tempat masoek dan kedoedoekan moesoeh. Bagi orang-orang jang berada di loear djarak lingkaran tadi, kewadjiban itu djadi fardloe kifajah (jang tjoekoep, kalaoe dikerdjakan sebagian sadja…”
kemudian pada 9 November 1945 KH Hasyim Asy’ari yang saat itu berada di Surabaya mengubah isi Resolusi Jihad 22 Oktober 1945 menjadi lebih operasional menyambut hinaan Mayor Jendera E.C.Mansergh yg Pagi harinya tanggal 9 November 1945 menyebarkan pamflet berisi ultimatum melalui tiga pesawat bomber di atas langit Surabaya yang isinya:
Kepada semua Bangsa Indonesia di Surabaya!
Pada tanggal 28 Oktober 1945, rakyat Indonesia di Surabaya secara tidak jujur sekonyong-konyong menyerang angkatan perang Inggris yang datang untuk melucuti dan mengumpulkan angkatan perang Jepang, memberi bantuan kepada tawanan perang sekutu dan interniran, dan menyelenggarakan keamanan dan ketertiban.
Dalam pertempuran yang berturut terjadi, maka banyak anggota kekuasaan Inggris menjadi korban, mati atau luka-luka; ada pula yang hilang. Perempuan dan anak-anak yang diinternir dibunuh secara kejam. Dan belakangan Brigadir Jenderal Mallaby dibunuh secara tidak jujur, yang pada waktu itu sedang berusaha memegang teguh persetujuan penghentian permusuhan yang telah dilanggar oleh pihak Indonesia tadi.
Kesalahan-kesalahan tersebut di atas tidak dapat dibiarkan begitu saja. Berdasarkan ini, saya mengeluarkan perintah yang harus dapat dilaksanakan. Selanjutnya pada tanggal 10 November 1945 Jam. 06.00 akan saya kerahkan semua kesatuan angkatan laut, darat dan udara di bawah komando saya untuk menundukkan orang-orang Indonesia yang mengabaikan perintah saya. Mereka bertanggung-jawab atas pertumpahan darah yang tak dapat dihindarkan
9 November 1945
Komando Angkatan Darat Sekutu Jawa Timur
E.C.Mansergh – Mayor Jenderal
Pamflet berisi ultimatum Mayor Jenderal E.C.Mansergh itu disusul Instruksi yang juga disebar dari pesawat terbang, yang isinya:
(1) Pihak Indonesia harus menyerahkan semua tawanan pada tanggal 9 Novermber jam 18.00;
(2) Semua pimpinan Indonesia harus melaporkan diri pada 9 November 1945 di Jalan Jakarta dengan membawa senjata yang diletakkan 100 yard dari tempat berkumpul untuk menandatangani perjanjian menyerah tanpa syarat;
(3) a.Bangsa Indonesia lain yang bersenjata harus melapor ke Westerbuiten Weg atau ke Darmo bouleverd dan Coen Bouleverd dengan mengibarkan bendera putih;
(3) b. Yang diperkenankan membawa senjata hanya polisi berseragam dan TKR yang teratur;
(4) tentara sekutu akan mengadakan pembersihan di dalam kota dan siapa yang diketahui menyimpan senjata akan dihukum mati;
(5) Siapa yang mengaggu interniran sekutu akan dijatuhi hukuman mati;
(6) para perempuan dan anak-anak Indonesia yang akan meninggalkan kota dibolehkan pada tanggal 9 November 1945 jam 19.00 terbatas pada jurusan Mojokerto dan Sidoarjo lewat jalan besar.
Arek-arek Surabaya meraung marah membaca ultimatum tersebut yang sangat merendahkan martabat Bangsa Indonesia. kemudian KH Hasyim Asy’ari mengubah isi Resolusi Jihad 22 Oktober 1945 menjadi lebih operasional, yaitu menjadi :
“Bagi tiap-tiap orang Islam, laki-laki, perempoean, anak-anak (bersenjata ataoe tidak) yang berada dalam djarak lingkaran 94 km dari Soerabaja, Fardloe ‘Ain hukumnya untuk berperang melawan moesoeh oentoek membela Soerabaja..”
“Bagi tiap-tiap orang Islam, laki-laki, perempoean, anak-anak (bersenjata ataoe tidak) yang berada dalam djarak lingkaran 94 km dari Soerabaja, Fardloe ‘Ain hukumnya untuk berperang melawan moesoeh oentoek membela Soerabaja..”
Resolusi jihad tersebut kemudian dipublikasikan oleh Bung Tomo lewat sarana radio dengan suara khasnya yang menggelegar, heroik dan membakar semangat rakyat Jawa Timur dan juga rakyat Indonesia yang mendengarnya.
kemudian berdatanganlah puluhan ribu rakyat, Para kyai, santri, satuan-satuan dari barisan Hizbullah dan Sabilillah berbondong-bondong ke Surabaya, bergabung dengan pasukan TKR Kota Surabaya, PRI, BPRI, TKR Laut, TKR Pelajar, Polisi Istimewa, Barisan Buruh, dan warga Kota Surabaya untuk menyambut serangan umum pasukan Inggris di bawah Mayor Jenderal E.C.Mansergh pada 10 November 1945.
Sebagian besar dari mereka adalah para kiai dan santrinya dari seantero Jawa Timur, Jawa Tengah dan bahkan Jawa Barat. Bahkan mereka ini adalah inspirator dan inisiator bangkitnya etos heroisme dalam peristiwa 10 November 1945 yang sekarang kita kenang sebagai Hari Pahlawan. Bung Tomo sang komando dalam perang jihad tersebut, dengan pekik takbir Allahu Akbar ! membawa spirit jihad dari KH Hasyim Asy’arie. Memang Bung Tomo bukan santri, namun kepatuhannya kepada ulama yang kharismatis membangkitkan ruh heroismenya memimpin arek-arek Surabaya dan segenap bangsa indonesia, dn kemudian menewaskan Brigjen Mallaby.
Resolusi jihad yang dikeluarkan NU tersebut telah menginspirasi segenap anak bangsa untuk berjuang mengangkat senjata guna mengusir penjajah yang hendak masuk kembali ke Indonesia. Kontribusi NU terhadap peristiwa tersebut bukan hanya sebatas mengeluarkan resolusi jihad yang terbukti berhasil melecut semangat juang bangsa Indonesia, namun para kiai NU beserta santri-santrinya terjun secara langsung ke medan perang mengusir penjajah.
kedahsyatan dan keheroikan perang tersebut telah membuka mata dunia bahwa Negara Kesatuan Indonesia telah lahir. Dan bahkan rakyatnya dengan gagah berani mempertahankan kemerdekaannya dengan nyawa sebagai taruhannya.
Sayangnya fragmen resolusi jihad NU tersebut terhapus dari buku sejarah perang kemerdekaan 10 Nopember 1945 di Surabaya. Kita tidak akan menemukan secuilpun cuplikan sejarah tentang hal ini, baik itu di pelajaran – pelajaran sejarah yang diajarkan di tingkat SD, SMP maupun SMU. Bahkan di tingkat perguruan tinggipun tiada kita temui fragmen resolusi jihad ini.
Sengaja atau tidak, memang sangat disayangkan kalau fragmen-fragmen yang menyulam sejarah emas perjuangan bangsa yang sangat heroik nan dahsyat tersebut begitu mudah dilupakan atau bahkan dihapus dari catatan emas sejarah.
Padahal sejarang hari pahlawan yang dipicu sejarah pertempuran 10 Nopember 1945 di Kota Surabaya tidak akan sedahsyat dan seheroik apa yang telah kita saksikan atau kita baca dari catatan sejarah tanpa dimulai, dipicu dan diinspirasi oleh adanya resolusi jihad yang difatwakan oleh para sesepuh NU ini.
Untuk itu sudah selayaknya generasi sekarang harus memulai untuk mengenang fragmen-fragmen sejarah resolusi jihad NU tersebut. Agar sekiranya bisa kita petik hikmah yang terkandung di dalamnya. Apalagi sekarang ini sebagian masyarakat kita ada yag salah dalam memaknai kata jihad. Sehingga mereka rela melakukan bom bunuh diri dalam rangka menerapkan seruan jihad yang salah kaprah itu.
Untuk itu dalam pelajaran sejarah di bangku-bangku sekolah harus disisipkan kebenaran sejarah ini. Sehingga generasi sekarang dan generasi kemudian akan bisa membaca sejarah perang 10 Nopember 1945 secara utuh termasuk di dalamnya fragmen resolusi jihad NU tersebut. Sehingga diharapkan para generasi muda bangsa bisa memetik pelajaran berharga dari resulusi jihad ini.
Kontributor : hakim asnawi
sumber:
http://www.nu.or.id/
http://fimadani.com/
menelisik jauhh lagi tentang jihad yangnjerumus ke dalam kekerasan sekarang dimaknai dengan konotasi ya ng sangat negatif,mengapa kata2 jihad seolah menjadiu identik dengan islam yang pada akhirnya menjerumus kedalam kekerasan yang mau tidak mau kembali membawa nama islam kedalam lembah kekerasan tersebut
BalasHapusnamanya saja berperang...??? pastilah dg kekerasan
BalasHapus