Telaah Pemikiran dan Langkah – langkahnya dalam Usaha Pembaharuan Pendidikan di Indonesia
A. PENDAHULUAN
Nama KH. A. Wahid Hasyim mungkin tidaklah setenar Soekarno, Moh. Hatta, Sutan Syahrir, ataupun Muh. Yamin. Namun, sumbangsihnya dalam membangun pondasi bangsa dan negara Indonesia tidaklah kalah dengan mereka. Kiprahnya dalam BPUPKI (Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia) dan juga Panitia Sembilan BPUPKI menjadi salah satu bukti jasa Wahid hasyim bagi bangsa Indonesia.
Sosok Wahid Hasyim memang lebih banyak dikenal karena sepak terjangnya dalam bidang politik. Entah kebetulan atau memang sudah ditakdirkan demikian, Wahid Hasyim hidup di masa-masa kritis perjuangan kemerdekaan Indonesia. Sumbangsih pemikiran-pemikirannya di bidang politik dan kebangsaan menyebabkan tidak berlebihan kiranya jika Wahid Hasyim dapat digolongkan sebagai salah satu founding fathers bangsa Indonesia.
Namun, banyak orang yang tidak tahu – termasuk di kalangan nahdliyin sendiri – bahwa sebenarnya Wahid Hasyim adalah juga seorang tokoh pendidikan. Bahkan, para pakar pendidikan pun jarang menyebut Wahid Hasyim sebagai salah satu tokoh penting dalam perkembangan dunia pendidikan di Indonesia. Mereka lebih sering menyebut K.H. Ahmad Dahlan (pendiri Muhammadiyyah) atau Abdullah Ahmad (pendiri Madrasah Adabiyyah di Minangkabau) sebagai tokoh pembaharu dunia pendidikan Indonesia.
Hal itu nampaknya didasari asumsi bahwa istilah “pembaharuan pendidikan” dianggap lebih identik dengan kaum modernis – yang direpresentasikan oleh Muhammadiyyah – dibandingkan dengan kalangan tradisionalis yang dalam hal ini diwakili oleh Nahdlatul Ulama.
Padahal, pembaharuan juga berlangsung di institusi pendidikan milik NU dan salah satu motor pendorong pembaharuan tersebut adalah Wahid Hasyim. Dia-lah yang berani memasukkan ilmu-ilmu umum ke dalam dunia pesantren. Dia pulalah aktor utama di balik ide pendirian lembaga pendidikan seperti PGA (Pendidikan Guru Agama) dan PTAIN (Perguruan Tinggi Agama Islam Negeri).
B. MASA KECIL DAN PENDIDIKAN WAHID HASYIM
Abdul Wahid Hasyim adalah anak kelima dari pasangan K.H. Hasyim Asy’ari dan Nafiqah yang merupakan anak laki-laki pertama dari sepuluh bersaudara. Dia dilahirkan pada hari Jum’at 1 Juni 1914, di Tebuireng, Jombang, Jawa Timur. Nama aslinya adalah Abdul Wahid, tetapi ketika menginjak dewasa dia lebih suka menulis namanya dengan A. Wahid dan ditambah nama ayahnya dibelakangnya, sehingga menjadi Abdul Wahid Hasyim yang kemudian lebih dikenal dengan Wahid Hasyim.[1] Garis keturunan ayah dan ibunya bertemu pada Lembu Peteng ( Brawijaya VI ), yaitu dari pihak ayah melalui Joko Tingkir ( Sultan Pajang 1569-1587 ) dan dari pihak ibu melalui Kiai Ageng Tarub I.
Sebenarnya, oleh ayahnya Hadratus Syeh K.H. Hasyim Asy’ari beliau diberi nama Muhammad Asy’ari, terambil dari nama kakeknya. Karena di anggap nama tersebut tidak cocok dan berat maka namanya di ganti Abdul Wahid, pengambilan dari nama seorang datuknya. Namun ibunya kerap kali memanggil dengan nama Mudin. Sedangkan para santri dan masyarakat sekitar sering memanggil dengan sebutan Gus Wahid, sebuah panggilan yang kerap ditujukan untuk menyebut putra seorang Kyai di Jawa.
Wahid Hasyim datang dari keluarga yang sangat dihormati. Ayahnya adalah K.H. Hasyim Asy’ari, seorang ulama kharismatik yang terkenal ahli dalam bidang hadits dan tafsir.[2] Bagi kalangan santri di Jawa dan pulau-pulau lain, nama Hasyim Asy’ari sangat dikenal luas dan dihormati. Bukan saja karena dia adalah pendiri NU (organisasi Islam terbesar di Indonesia), beliau juga merupakan kyai pendiri sekaligus pengasuh pondok pesantren Tebuireng, Jombang, Jawa Timur. Ayah dari kyai wahid hasyim ini memiliki ilmu yang sangat mendalam sehingga pengaruh K.H. Hasyim Asy’ari makin meluas hal ini ditandai dengan begitu banyak santrinya, yang kemudian mendirikan pesantren setelah belajar dengan beliau.[3] Hal ini tentu berpengaruh besar terhadap anaknya Wahid Hasyim, yang kelak menjadi pemangku pondok pesantren. Hal inilah yang menjadikan Abdul Wahid Hasyim kecil telah akrab dengan kultur kependidikan pesantren.
Sebagai seorang putra ulama pengasuh pesantren, Abdul Wahid Hasyim mendapatkan pendidikan ke-Islaman sejak kanak-kanak dari lingkungan keluarganya dan pergaulannya dengan para santri ayahandanya. Beliau termasuk seorang yang jenius dan otodidak, terutama yang berhubungan dengan pengetahuan umum. Beliau tidak pernah belajar disekolah umum, tetapi pengetahuannya tidak kalah dengan anak-anak sebayanya yang mengenyam pendidikan umum. Abdul Wahid Hasyim pertama kali belajar kepada Ayahnya sendiri, juga kepada santri-santri senior dipondok pesantren Tebuireng. Sejak usia 5 tahun beliau mulai mengaji al-Qur’an dan pada usia tujuh tahun beliau sudah mengaji kitabFathul Qarib (Syarah Kitab Matn al-Taqrib), dan kitab Minhaj al-Qawim, serta mulai gemar mempelajari sastra Arab, terutama syai’r-syair’ Arab dalam kitab Diwan al-Syu’ara (kumpulan penyair dan Syair-sya’irnya). Menginjak usia ke-12, Wahid Hasyim telah menamatkan studinya di Madrasah Salafiyah Tebuireng dan telah mempelajari beberapa kitab kuning pada ayahnya sendiri.
Antara umur 13 hingga 15 tahun, Wahid Hasyim berkelana dari satu pesantren ke pesantren yang lain untuk memperdalam wawasan ilmu keagamaannya. Namun, perhatian Wahid Hasyim tidak hanya terfokus pada pelajaran ilmu-ilmu Islam klasik semata. Pada tahun 1929, ia kembali ke Tebuireng dengan telah menguasai huruf Latin.
Selain itu, Wahid Hasyim juga menguasai bahasa Melayu, Belanda, dan Inggris – di samping bahasa Arab – karena secara rutin berlangganan berbagai majalah seperti Penjebar Semangat, Daoelat Ra’jat, dan Pandji Poestaka.[4]
Pada usianya yang baru menginjak 17 tahun, Wahid Hasyim telah mengajar kitab Ad-Dararul Bahiyah dan Kaffrawi kepada para santri Tebuireng. Antara tahun 1932-1933, Wahid Hasyim menunaikan ibadah haji dan bermukim serta belajar selama setahun di Makkah. Pergaulannya dengan berbagai orang dari beragam negara yang bermukim di Makkah rupanya telah membuka cakrawalanya dalam berbagai bidang seperti agama, politik, budaya, dan pendidikan.
C. KIPRAH WAHID HASYIM DALAM DUNIA PENDIDIKAN
Dalam perjalanan sejarah hidupnya Kyai Wahid Hasyim adalah tokoh yang kondang dengan pemikiran kependidikannya. Meskipun tidak pernah mengenyam pendidikan moderen, wawasan berfikir Wahid Hasyim dikenal cukup luas. Hal ini dapat diduga dari luasnya bacaannya. Wawasan ini diaplikasikannya dalam kegiatan-kegiatan yang bersifat sosial dan pendidikan. Pada tahun 1935 Wahid Hasyim mendirikan Madrasah Nizhamiyah,[5] sebagai fakta penting usaha reformasi pendidikan yang dilakukannya.
Usaha Wahid Hasyim ini juga dapat dilihat sebagai pengaruh dari perkembangan pendidikan saat itu. Sejak diperkenalkannya “politik etis” oleh Belanda yang kemudian memberikan kesempatan belajar bagi sebagian kecil masyarakat Indonesia dan didorong semangat pembaruan yang berasal dari Timur Tengah, umat Islam Indonesia pada akhir abad 19 dan awal abad 20 dengan mulai mengembangkan sistem pendidikan moderen. Para pengelola pendidikan Islam tidak hanya mengubah pendidikan tradisional, seperti pesantren, ke bentuk madrasah-madrasah atau pendidikan klasikal; sebagian mereka mengembangkan sistem pendidikan Barat yang dimuati nilai-nilai Islam, seperti yang dilakukan oleh Muhammadiyyah. Pada tahun 1930-an tlah dijumpai banyak sekolah moderen Islam yang mengajarkan ilmu pengetahun umum ditambah dengan pelajaran-pelajaran Agama. Hal inilah yang tampaknya ikut mempengaruhi Wahid Hasyim mendirikan madrasah Nizhamiyah.[6] Secara konkrit hal ini merupakan bagian penting dalam relasi ilmu dan tindakan yang dilakukannya dalam hal pendidikan dengan mengimplementasikannya di Tebuireng yang merupakan pondok warisan ayahnya, tidak hanya sampai disini, beliau juga nampaknya melanjutkan kerja keras dalam perubahan sistem pendidikan melalui kebijakan-kebijakan yang digulirkannya saat menjabat sebagai menteri agama.
D. PEMIKIRAN DAN LANGKAH – LANGKAH WAHID HASYIM DALAM DUNIA PENDIDIKAN
Pemikiran Wahid Hasyim
1) Tentang Tujuan Pendidikan
Menurut beliau, tujuan pendidikan adalah untuk menggiatkan santri yang berahlakul karimah, takwa kepada Allah dan memiliki ketrampilan untuk hidup. Artinya dengan ilmu yang dimiliki ia mampu hidup layak di tengah masyarakat, mandiri, tidak jadi beban bagi orang lain. Santri yang tidak mempunyai ketrampilan hidup ia akan menghadapi berbagai problematika yang akan mempersempit perjalanan hidupnya. Dengan demikian dapat dipahami bahwa tujuan pendidikan Wahid Hasyim bersifatTeosentris ( Ketuhanan ) sekaligus Antroposentris ( kemanusiaan ). Artinya bahwa pendidikan itu harus memenuhi antara kebutuhan duniawidan ukhrowi, moralitas dan ahlak, dengan titik tekan pada kemampuan kognisi ( iman ), afeksi ( ilmu ) dan psikomotor ( amal, ahlak yang mulia ).[7]
2) Pentingnya Penguasaan Iptek Bagi Santri
Sebagai seseorang yang terlahir dalam lingkungan pendidikan (pesantren), Wahid Hasyim sangat menyadari bahwa untuk meningkatkan kualitas sumber daya manusia Islam haruslah melalui pendidikan. Namun, Wahid Hasyim juga menyadari bahwa pendidikan agama saja tidaklah cukup. Harus pula diimbangi dengan penguasaan terhadap ilmu pengetahuan dan teknologi. Hal ini sejalan dengan “obsesi” Wahid Hasyim yang ingin mendudukkan kaum santri (pelajar Islam) dalam posisi yang sejajar dengan yang lainnya. Dia tidak ingin melihat santri dipandang sebagai “intelektual kelas dua” dan dianggap hanya bisa jadi modin/lebai oleh masyarakat.
3) Santri Yang Mempunyai “Social Sense”.
Dalam pandangan Wahid Hasyim, tidak semua santri yang belajar di pesantren harus dan akan menjadi ulama semua. Seorang santri juga harus menguasai ilmu-ilmu umum sehingga mampu berkiprah di berbagai bidang dalam kehidupannya. Bahwa, seorang santri yang belajar di pesantren selain demi mencari ridho Allah, juga harus memiliki kemampuan untuk beradaptasi dan berkiprah dalam kehidupannya di tengah masyarakat. Seorang santri, di samping harus bisa menjawab masalah-masalah keagamaan, juga harus bisa menyelesaikan berbagai persoalan yang dihadapi masyarakat seperti kemiskinan dan kebodohan.
4) Mengenalkan Istilah Pendidikan Kecakapan Hidup ( Life skill )
Oleh karenanya, tidak seluruh santri di pesantren harus mempelajari bahasa Arab dan kitab-kitab kuning dengan terlalu intensif. Menurut Wahid Hasyim, hal tersebut dinilai memboroskan waktu saja karena pada akhirnya mereka tidak akan menjadi ulama semuanya. Pengajaran kitab-kitab kuning dalam bahasa Arab hendaknya terbatas bagi sejumlah kecil santri yang memang akan dididik untuk menjadi ulama. Seorang santri, dalam perspektif Wahid Hasyim, cukup mengikuti latihan kehidupan beberapa bulan di pesantren dan mempelajari Islam yang ditulis dalam kitab-kitab berbahasa Indonesia, kemudian sebagian besar waktunya digunakan untuk belajar berbagai pengetahuan dan keterampilan praktis.Konsep inilah yang pada saat ini dikenal dengan istilah life skill education (pendidikan kecakapan hidup). Dan, Wahid Hasyim-lah yang memperkenalkannya terlebih dahulu kepada dunia pendidikan Indonesia pada tahun 1930-an – jauh sebelum istilah tersebut ditemukan.[8]
Meskipun ide ini pada akhirnya tidak disetujui oleh K.H. Hasyim Asy’ari karena perubahan radikal seperti itu akan menciptakan kekacauan di antara sesama pemimpin pesantren, tetapi maksud di balik usul Wahid Hasyim ini dapat dipahami oleh KH. Hasyim Asy’ari.
5) Makna Penting Perpustakaan
Wahid Hasyim sadar betul bahwa kehadiran perpustakaan yang memadai adalah prasyarat mutlak untuk meningkatkan kualitas sumber daya manusia. Wahid Hasyim memandang perpustakaan bukan sebagai gudang tempat penyimpanan buku semata namun sebagai pusat ilmu pengetahuan.
E. LANGKAH – LANGKAH PEMBAHARUAN PENDIDIKAN WAHID HASYIM
1) Pembaharuan Institusional ( kelembagaan )
Model pembaharuan kelembagaan maksudnya yaitu pembaharuan atau perubahan lembaga pendidikan Islam, baik melalui transformasi diri lembaga yang sudah ada maupun mendirikan lembaga pendidikan Islam yang baru. Dalam kontek ini, Wahid Hasyim mentransformasi lembaga yang sudah ada yaitu pesantren Tebuireng kemudian di modifikasi dengan mendirikan madrasah Nizamiyah yang dilengkapi dengan perpustakaan sebagai tempat belajar santri diluar pesantren dan madrasah. Artinya selain pesantren mengajarkan ilmu agama juga di ajarkan ilmu umum kepada santrinya dengan maksud seorang santri atau dunia pesantren tidak boleh berada di Menara Gading dan mengambil jarak dengan masyarakat. Pesantren seharusnya turut ambil bagian dalam menyelesaikan berbagai problematika masyarakat baik social, agama, politik, budaya maupun keamanan.[9]
2) Pembaharuan Aspek Kurikulum ( muatan isi )
Kurikulum pesantren di sini dimaknai sebagai berbagai jenis mata pelajaran yang di ajarkan dalam proses belajar mengajar di pesantren atau madrasah. Dimana materi yang diajarkan di bidang tehnis berupa ilmu fiqh, ilmu tafsir, mawaris, ilmu falaq. Bidang hafalan yaitu pelajaran Al-Quran, ilmu bahasa Arab. Sedang ilmu yang bersifat membina emosi keagamaan seperti aqidah, tasawuf dan ahlaq. Menurut Wahid Hasyim bahwa dalam beberapa hal, pesantren tidak sesuai lagi dengan perkembangan dan tuntutan zaman sehingga sangat membutuhkan pembaharuan. Maka untuk mewujudkan itu Wahid Hasyim memasukkan ilmu-ilmu sekuler kepada madrasahnya seperti aritmatika, sejarah , geografi, ilmu pengetahuan alam, Bahasa Inggris dan Belanda.
Materi yang di rancang oleh Wahid Hasyim dalam pendidikan terbagi menjadi tiga :Pertama, ilmu-ilmu agama Islam seperti fiqih, tafsir, hadist dan ilmu agama lainnya.Kedua, ilmu non agama seperti ilmu jiwa, matematika, dan Ketiga, kemampuan bahasa, yaitu Bahasa Inggris, Belanda dan Bahasa Indonesia.
3) Pembaharuan Metodologi Pembelajaran
a) Memperkenalkan Sistem Klasikal Tutorial sebagai Pengganti Sistem Sorogan dan Bandongan ( Membangun nuansa dialogis pembelajaran ).
Seperti yang kita ketahui , sistem atau metode pembelajaran di pesantren ( terutama pesantren salaf ) menggunakan sistem sorogan dan bandongan. Murid posisinya hanya sebagai pendengar budiman, menghafal dan menulis sehingga murid atau santri tidak bisa mengembangkan potensi yang ada dalam dirinya seperti mengajukan pertanyaan atau bahkan lebih kritis lagi yaitu dengan mengadakan diskusi. Kondisi inilah yang akan diperbaharui oleh Wahid Hasyim yaitu dalam pelaksanaan proses kegiatan belajar mengajar dengan menerapkan system tutorial.[10] Dengan konsep ini di harapakan proses pembelajaran berjalan dan menghasilkan atau memproduk siswa atau santri yang bisa memenuhi kebutuhan masyarakat karena bermutu.[11]
Saat Wahid hasyim melontarkan ide untuk mengganti metode bandongan dengan metode tutorial sepertinya didasari pada kesadaran bahwa santri/siswa adalah manusia merdeka yang memiliki kreativitas dan inisiatif pribadi. Mematikan kreativitas santri/siswa sama halnya dengan membunuh potensi mereka, bahkan sebelum potensi itu tumbuh dan berkembang.
Metode tutorial memberi ruang antara guru/kyai dan siswa/santri untuk terlibat dalam dialog yang seakan ditabukan dalam metode bandongan. Suasana dialogis sangat penting dikembangkan dalam pembelajaran karena melatih daya kritis dan logika. Metode tutorial sama sekali tidak akan menurunkan kewibawaan dan pamor guru/kyai di mata siswa/santri karena hubungan yang dibangun dalam metode tutorial adalah kesetaraan. Ketika seseorang diperlakukan sejajar maka akan tumbuh rasa saling menghormati. Metode tutorial juga dipandang lebih efektif untuk memantau perkembangan kemampuan individual masing-masing siswa/santri. Metode tutorial juga akan mempererat hubungan antara guru/kyai dan siswa/santri.
b) Penggunaan Teknik Modern ( Penjenjangan dan evaluasi )
Wahid Hasyim menginginkan pendidikan pesntren menggunakan teknik-teknik moderen termasuk tes-tes, tingkatan-tingkatan kelas, dan evaluasi-evaluasi. Oleh karena itulah, pada tahun 1916, pedagogi tingkatan-tingkatan kelas formal madrasah, lebih terkenal dibagian dunia Islam, diperkenalkan di Tebuireng dan Jawa.[12] Dr. Noor Ahmad, Rektor Unwahas Semarang mengatakan bahwa ayah K.H. Abdurrahman Wahid itu memelopori pengajaran pesantren dengan model klasikal tutorial dalam bentuk kelas-kelas berjenjang yang lebih sistematis dibanding sebelumnya. “Pembelajaran di pesantren mulai diperkaya dengan diskusi dan tanya jawab dan buku rujukan tidak hanya terpaku ‘kitab kuning’, melainkan beragam literatur keilmuan kontemporer,”katanya. Awalnya, kata dia, K.H. Hasyim Asy’ari tidak setuju dengan putranya itu, namun mengizinkannya mendirikan Madrasah Nizhamiyah dengan kurikulum pelajaran umum sebesar 70 persen. Ia mengatakan Madrasah Nizhamiyah hanya berumur empat tahun dan ditutup saat Wahid Hasyim mulai sibuk dan harus pindah ke Jakarta, namun pemikirannya ternyata terus belanjut. “Pada 1950, beliau melakukan reorganisasi Madrasah Tebuireng dengan pola yang kemudian menjadi standar pendidikan madrasah secara nasional, mulai madrasah ibtidaiyah (MI) hingga madrasah aliyah (MA),” kata Noor Achmad dalam seminar ‘Visi Pendidikan dan Kebangsaan K.H. Abdul Wahid Hasyim’ di Unwahas Selasa (19/4/2011).[13]
4) Mendirikan Perpustakaan Pesantren
Kehadiran perpustakaan di sebuah pesantren memang belum “lumrah” pada saat itu tetapi Wahid Hasyim berani mendobrak kondisi tersebut. Perpustakaan dipandangnya menjadi salah satu prasyarat penting untuk mewujudkan tujuannya yaitu meningkatkan kualitas sumber daya manusia Islam. Kegemarannya membaca dan menulis nampaknya juga menjadi latar belakang idenya untuk mendirikan perpustakaan di Ponpes Tebuireng.
Perpustakaan yang didirikan oleh Wahid Hasyim memiliki koleksi sebanyak 1000 judul buku yang kebanyakan adalah buku-buku agama Islam. Selain itu, perpustakaan itu juga berlangganan majalan dan surat kabar, seperti Panji Islam, Dewan Islam, Islam Bergerak, Berita Nahdlatul Ulama, Adil, Nurul Islam, Al Munawarah, Panji Pustaka, Pustaka Timur, Pujangga Baru, dan Penyebar Semangat.[14]
Dari kesebelas jurnal/majalah tersebut, hanya Berita Nahdlatul Ulama saja, yang secara konsisten mewakili pandangan kaum tradisionalis. Selebihnya merupakan jurnal/majalah yang diterbitkan oleh kalangan Islam modernis dan nasionalis.
Para santri dianjurkan membaca buku, majalah, dan surat kabar sebanyak mungkin. Surat kabar yang baru dipasang di papan di halaman depan masjid sehingga memudahkan para santri untuk beramai-ramai membacanya. Dengan demikian, para santri memperoleh pengetahuan yang memadai dalam berbagai bidang seperti sosial, ekonomi, dan politik.
5) Mendirikan STAI di Jakarta
Menurut Prof. DR.H.Imam Suprayogo dalam seminar Peringatan 100 Tahun KH.Wahid Hasyim, Tebuireng, Jombang, Ide cerdas yang dirasakan aneh oleh kebanyakan orang pada saat itu adalah KH Wahid Hasyim tidak pernah mendirikan pesantren, tetapi bersama tokoh Islam lainnya, malah mendirikan Sekolah Tinggi Agama Islam di Jakarta. Ternyata perguruan tinggi Islam ini selanjutnya adalah menjadi cikal bakal perguruan tinggi Islam yang ada di Indonesia sekarang ini. Boleh jadi, insan perguruan tinggi Islam selama ini tidak pernah tahu bahwa perintis lembaga pendidikan yang mengeluarkan gelar akademik formal selama ini, sebenarnya dilahirkan oleh orang yang tidak pernah memperoleh gelar akademik formal, yaitu di antaranya adalah KH Wahid Hasyim. [15]
KH Wahid Hasyim, sebagaimana disebutkan sebelumnya, adalah orang yang dilahirkan dari pesantren yang ternyata tidak mendirikan pesantren, melainkan mendirikan perguruan tinggi Islam. Apa yang dilakukannya ini sebenarnya adalah sebuah lompatan yang luar biasa, di mana beliau masih memelihara yang lama, tetapi sekaligus juga menciptakan yang baru. “Yang lama” dan “yang baru” bersemai dalam dialektika continuity and change, dan melahirkan sebuah perubahan yang spektakuler menurut ukuran zaman saat itu.
F. KESIMPULAN
Dari paparan tersebut di atas, maka dapat disimpulkan sebagai berikut :
a) Pembaharuan dalam pendidikan Islam yang dibangun oleh Wahid Hasyim dilatar belakangi oleh dua hal, Pertama, kondisi umat Islam yang terbelakang dalam hal pendidikan, yang berdasar pada kesadaran pentingnya pendidikan dalam rangka membangun bangsa. Kedua, adalah sentimen negatif Wahid Hasyim terhadap kolonialisme yang menganaktirikan masyarakat pribumi terkait hak-hak untuk mengenyam pendidikan. Karenanya juga sebagai perlawanan terhadap pemerintahan kolonialisme.
b) Terobosan Pendidikan yang dilakukan Wahid Hasyim merupakan kesadaran tantangan zaman yang selalu berkembang. Perubahan sosial dan peradaban merupakan keniscayaan, Wahid Hasyim menginginkan para santri dibekali dengan kesiapan wawasan dan pengetahuan untuk menghadapinya.
c) Kesediaan Wahid Hasyim untuk berlangganan majalah dan surat kabar milik kalangan Islam modernis dan nasionalis merupakan gambaran pribadinya yang progresif dan sikapnya yang toleran dalam persoalan-persoalan ideologi, sosial, dan politik.
G. PENUTUP
Demikian makalah ini disusun dengan segenap kekurangannya, karenanya penyusun mohon maaf atas banyaknya salah dan khilaf. Mohon masukan, kritik dan saran demi perbaikan di masa yang akan datang.
DAFTAR PUSTAKA
Saiful Umam, “K.H. Wahid Hasyim; Konsolidasi dan Pembelan Eksistensi” dalam Menteri- Menteri Agama RI: Biografi Sosial-Politik Azyumardi Azra dan Saiful Umam (ed.), Jakarta: PPIM, 1998.
Ishomuddin Hadziq (ed.),Irsyad al-Syari: Fi Jami’i Mushannafat al-Syaikh Hasyim Asy’ari . Jombang: Pustaka Warisan Islam, Tt.
Mujamil Qomar, Manajemen Pendidikan Islam. Malang : Erlangga. 2007 .
Rosihan Anwar, Ulama Dalam Penyebaran Pendidikan dan Khazanah Keagamaan. Jakarta : PT. Pringgondani berseri, 2003 .
Hobri, Model-Model Pembelajaran inovatif .Jember : Word Wditor, 2009.
Edward Sallis, Total Quality Management in Educatioan.Yogyakarta : IRCiSoD, 2008 .
Ronald Alan Lukens-Bull, Jihad Ala Pesantren di Mata Antropolog Amerika . Yogyakarta: Gama Media, 2004.
http://smayani.wordpress.com/2011/04/13/menziarahi-pemikiran-kh-abdul-wahid-hasyim-untuk-menata-ulang-konsep-pendidikan-di-indonesia/
http://www.republika.co.id/berita/dunia-islam/islam-nusantara/11/04/19/ljwd1s-putra-pendiri-nu-pembaharu-pendidikan-pesantren
Prof. DR.H.Imam Suprayogo. Relevansi Pemikiran Pendidikan KH Wahid Hasyim Kini dan Mendatang. http://rektor.uin-malang.ac.id/index.php/artikel/1772-relevansi-pemikiran-pendidikan-kh-wahid-hasyim-kini-dan-mendatang.html
[1] Saiful Umam, “K.H. Wahid Hasyim; Konsolidasi dan Pembelan Eksistensi” dalam Menteri- Menteri Agama RI: Biografi Sosial-Politik Azyumardi Azra dan Saiful Umam (ed.), (Jakarta: PPIM, 1998), hlm. 99.
[2] Hal ini bisa dijumpai dari karyanya Irsyad al-Syari yang merupakan kumpulan dari Hadits-Hadits Nabi yang dikumpulkan oleh K.H. Hasyim Asy’ari yang kemudian dikompilasikan berdasarkan pada tulisan-tulisan K.H. Hasyim Asy’ari oleh Kyai haji ‘Ishomuddin Hadziq. Baca: ‘Ishomuddin Hadziq (ed.),Irsyad al-Syari: Fi Jami’i Mushannafat al-Syaikh Hasyim Asy’ari (Jombang: Pustaka Warisan Islam, Tt.)
[3] Saiful Umam, Op. Cit. hlm. 98.
[4] http://smayani.wordpress.com/2011/04/13/menziarahi-pemikiran-kh-abdul-wahid-hasyim-untuk-menata-ulang-konsep-pendidikan-di-indonesia/
[5] Saiful Umam, “Op. cit. 103.
[6] Ibid. hlm. 104.
[7] Mujamil Qomar, Manajemen Pendidikan Islam ( Malang : Erlangga. 2007 ) , 73.
[8] http://smayani.wordpress.com/2011/04/13/menziarahi-pemikiran-kh-abdul-wahid-hasyim-untuk-menata-ulang-konsep-pendidikan-di-indonesia/
[9] H. Rosihan Anwar, Ulama Dalam Penyebaran Pendidikan dan Khazanah Keagamaan ( Jakarta : PT.
Pringgondani berseri, 2003 ), 145
[10] H. Hobri, Model-Model Pembelajaran inovatif ( Jember : Word Wditor, 2009), 25.
[11] Edward Sallis, Total Quality Management in Educatioan ( Yogyakarta : IRCiSoD, 2008 ), 86.
[12] Rona1d Alan Lukens-Bull, Jihad Ala Pesantren di Mata Antropolog Amerika (Yogyakarta: Gama Media, 2004), hlm. 168
[13] http://www.republika.co.id/berita/dunia-islam/islam-nusantara/11/04/19/ljwd1s-putra-pendiri-nu-pembaharu-pendidikan-pesantren
[14] http://smayani.wordpress.com/2011/04/13/menziarahi-pemikiran-kh-abdul-wahid-hasyim-untuk-menata-ulang-konsep-pendidikan-di-indonesia/
ko masig blogspot belum pakai domain. padahal sudah jadi situs resmi
BalasHapus